KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN GIANT SEA WALL DI TANGGUL JAKARTA
Wacana pembangunan tanggul laut
raksasa Jakarta dan reklamasi dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur
DKI Jakarta Fauzi Bowo, dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya
disebut Sea Dike Plan Tahap III dan akan dibangun pada 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untuk mengatasi pasang naik air laut
yang semakin tinggi karena pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan
cara reklamasi. Pulau itu akan dilengkapi tanggul laut raksasa.
Belakangan, proyek yang kini disebut ”Pembangunan Pesisir
Terpadu Ibu Kota Negara” juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih.
Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di
dalamnya. Dengan penyediaan air baku, diharapkan penyedotan air tanah pemicu
penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama
Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bersepakat mempercepat proyek itu.
”Untuk giant sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan ground
breaking pada 2014,”
kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, seperti
dikutip Kompas, Kamis
(7/3/2013).
Percepatan dilakukan karena mendesaknya kebutuhan fasilitas itu,
yaitu dipicu penurunan permukaan tanah di pesisir DKI yang akan mencapai 4
meter pada 2020.
Namun, menurut Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan
Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), percepatan itu
lebih karena besarnya minat swasta. Tak hanya menjadi infrastruktur pengendali
banjir, proyek itu memang disiapkan menghasilkan lahan reklamasi hingga 4.000
hektar.
Gubernur DKI Joko Widodo, yang juga presiden terpilih, mengakui
besarnya minat pihak swasta. ”Tanggul laut memang menarik secara bisnis dan
komersial sehingga banyak yang mau terlibat. Tidak hanya satu dua pihak, tetapi
banyak,” kata Jokowi (Kompas,
7/3/2013).
Kamis (9/10/2014), pemancangan tiang pertama itu akhirnya dilakukan,
menandai pembangunan tanggul laut sepanjang 32 kilometer atau Tahap I dari tiga
lapis tanggul. Dari panjang itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI hanya akan
menanggung pembiayaan 8 kilometer dengan dana Rp 3,5 triliun. Sisanya, 24 km
dibiayai swasta pemegang konsesi lahan reklamasi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Bernardus
Djonoputro mengkritik model pembangunan itu. ”Menggantungkan pembangunan
infrastruktur dasar kepada swasta merupakan cara berpikir keliru. Logikanya,
swasta mau masuk pasti kalau menguntungkan bisnis mereka,” tuturnya.
Dengan cara pikir swasta, tidak mengherankan jika proyek
cenderung meminggirkan kepentingan masyarakat, utamanya nelayan di pesisir.
”Itu berpotensi memicu kesenjangan luar biasa besar antara penduduk asli
Jakarta dan pelaku ekonomi baru yang akan muncul di pulau-pulau reklamasi ini.
Apakah itu sudah dikaji dampaknya?” kata Djonoputro.
Berdasarkan data dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(Kiara), sedikitnya 16.855 nelayan akan tergusur..
Setiap pembangunan kota perlu
diukur manfaat dan dampaknya bagi warga, demikian pula rencana pembangunan
tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta. Siapa akan menangguk untung dan siapa
kelak yang menanggung dampak buruknya harus terjelaskan kepada publik karena
kota dibangun untuk warga, bukan untuk segelintir elite, seperti politisi atau
pebisnis.
Menurut Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala
Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), tanggul laut raksasa
bukan jawaban masalah Jakarta. Sebaliknya, tanggul ini berpotensi membawa
banyak masalah baru.
Jika alasannya mengatasi banjir rob, kata Muslim, yang
dibutuhkan adalah tanggul pesisir. ”Saya setuju daratan Jakarta mengalami
penurunan signifikan. Karena itu, perlu ditanggul bagian pesisir yang menurun
itu, selain juga perlu menanggul sungai-sungainya,” ungkapnya.
Pembuatan tanggul laut, kata Muslim, dilakukan lebih untuk
melindungi 17 pulau reklamasi. Itulah mengapa pihak swasta yang mendapat
konsesi lahan reklamasi bersemangat.
Alasan menyediakan air bersih lebih tak masuk akal. ”Debit air
yang masuk Teluk Jakarta dari 13 sungai rata-rata 300 meter kubik per detik.
Kebutuhan air Jakarta hanya 30 meter kubik per detik. Artinya, ada 270 meter
kubik harus dipompa keluar, itu energi memompanya pakai apa?” katanya. ”Kalau
mau ambil air untuk bahan baku air bersih, lebih masuk akal dari sungai di
bagian hulu.”
Total biaya untuk memompa air dari tanggul dan meningkatkan
kualitas air dalam tanggul, menurut hitungan Muslim, 600 juta dollar AS per
tahun. ”Kalau alasannya kenaikan muka air laut, Singapura dan Malaysia juga
terancam. Apakah mereka membuat tanggul laut? Tidak, karena kenaikan muka air
laut tidak signifikan.”
Wacana lama
Wacana pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta dan reklamasi
dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo,
dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya disebut Sea Dike Plan
Tahap III dan akan dibangun pada 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untuk mengatasi pasang naik air laut
yang semakin tinggi karena pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan
cara reklamasi. Pulau itu akan dilengkapi tanggul laut raksasa.
Belakangan, proyek yang kini disebut ”Pembangunan Pesisir
Terpadu Ibu Kota Negara” juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih.
Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di
dalamnya. Dengan penyediaan air baku, diharapkan penyedotan air tanah pemicu
penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama
Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bersepakat mempercepat proyek itu. ”Untuk giant
sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan groundbreaking pada 2014,” kata mantan Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, seperti dikutip Kompas,
Kamis (7/3/2013).
Gubernur DKI Joko Widodo, yang juga presiden terpilih, mengakui
besarnya minat pihak swasta. ”Tanggul laut memang menarik secara bisnis dan
komersial sehingga banyak yang mau terlibat. Tidak hanya satu dua pihak, tetapi
banyak,” kata Jokowi (Kompas,
7/3/2013).
Kamis (9/10/2014), pemancangan tiang pertama itu akhirnya
dilakukan, menandai pembangunan tanggul laut sepanjang 32 kilometer atau Tahap
I dari tiga lapis tanggul. Dari panjang itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI
hanya akan menanggung pembiayaan 8 kilometer dengan dana Rp 3,5 triliun.
Sisanya, 24 km dibiayai swasta pemegang konsesi lahan reklamasi.
Sejak
awal, proyek giant sea wall Jakarta seperti hendak meniru tanggul
laut Belanda, negeri yang sebagian besar daratannya di bawah permukaan laut.
Tanggul laut raksasa di Belanda dibangun setelah negeri itu dilanda badai laut
berketinggian air 30 meter pada 1953.
Air yang hampir beku menerjang kota, menewaskan 1.835 orang,
memaksa 110.000 warga mengungsi. Tiga belas tanggul raksasa dibangun bertahap
selama 39 tahun sejak saat itu. ”Indonesia tidak memiliki badai laut,” kata
Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan
Institut Teknologi Bandung (ITB).
Belakangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melirik tanggul laut
raksasa Samangeum, Korea Selatan. Namun, tanggul laut terpanjang di dunia itu
bukan tanpa masalah. Setelah terhenti dua tahun karena protes keras
masyarakatnya, tanggul laut 33,9 km itu selesai dibangun pada 2006.
Riset Hye Kyung Lee dari Seoul National University (2013),
kualitas air yang digelontorkan dari dua sungai ke dalam tanggul ternyata
tercemar industri pertanian dan peternakan di hulu. Akibatnya, ide sebagai
sumber air bersih tak terwujud.
Bagaimana dengan Teluk Jakarta, muara 13 sungai yang tercemar?
Riset Badan Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPDP BPPT) menyebut, pembangunan tanggul laut akan menaikkan muka air di dalam
tanggul hingga 0,5-1 meter setelah 14 hari simulasi. Arus air di dalam tanggul
juga mengecil sehingga kualitas air dalam tanggul memburuk secara progresif.
Peneliti BPDP BPPT, Widjo Kongko, menyebut, penurunan kualitas
air itu ditandai dengan perubahan signifikan parameter lingkungan, seperti
kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved
oxygen (DO) lebih
dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.
Widodo Pranowo, peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan,
proyek itu akan berdampak ekologis, bukan hanya terhadap pesisir Jakarta dan
Kepulauan Seribu, melainkan juga hingga Banten. ”Tanggul ini bisa menjadi
comberan raksasa,” katanya.
Selain itu, tanggul akan menyebabkan perubahan arus laut dan
akan menggerus beberapa pulau di Pulau Seribu, salah satunya Pulau Onrust.
Adapun dampak di pesisir Serang, Banten, seperti dikemukakan Kepala Kelompok
Peneliti Kerentanan Pesisir KKP Semeidi Husrin, berpotensi merusak pesisir
Banten karena pasir reklamasi Teluk Jakarta dari Banten.
Jadi, seharusnya yang dipikirkan dulu adalah menata air di hulu,
bukan bendung di hilir. Tanggul laut Jakarta untuk siapa?
Untuk siapa?
Setiap pembangunan kota perlu diukur manfaat dan dampaknya bagi
warga, demikian pula rencana pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta.
Siapa akan menangguk untung dan siapa kelak yang menanggung dampak buruknya
harus terjelaskan kepada publik karena kota dibangun untuk warga, bukan
segelintir elite, seperti politisi atau pebisnis.
Wacana pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta dan reklamasi
dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo,
dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya disebut Sea Dike Plan
Tahap III dan akan dibangun pada 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untuk mengatasi pasang naik air laut
yang semakin tinggi karena pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan
cara reklamasi. Pulau itu akan dilengkapi tanggul laut raksasa.
Belakangan, proyek yang kini disebut ”Pembangunan Pesisir
Terpadu Ibu Kota Negara” juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih.
Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di
dalamnya. Dengan penyediaan air baku, diharapkan penyedotan air tanah pemicu
penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama
Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bersepakat mempercepat proyek itu.
”Untuk giant sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan groundbreaking pada 2014,” kata mantan Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, seperti dikutip Kompas,
Kamis (7/3/2013).
Kamis (9/10/2014), pemancangan tiang pertama itu akhirnya
dilakukan, menandai pembangunan tanggul laut sepanjang 32 kilometer atau Tahap
I dari tiga lapis tanggul. Dari panjang itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI
hanya akan menanggung pembiayaan 8 kilometer dengan dana Rp 3,5 triliun.
Sisanya, 24 km dibiayai swasta pemegang konsesi lahan reklamasi.
Ahmad Arif.
Sumber : Koran Kompas.
Tanggapan :
Pembangunan Giant Sea Wall ini justru akan memperparah banjir karena akan memperpanjang aliran air sungai dan akan mengakibatkan laju desimentasi meningkat dikarenakan laju aliran air yang menurun, hal ini juga menimbulkan masalah karena perlu adanya upaya pengerukan sungai yang tidak sedikit biayanya.
Dampak lain adalah penutupan dua pelabujan perikanan Nusantara. ribuan nelayan harus dipindahkan. Pembangkit listrik muara karang juga harus ditutup karena aliran air pindingin tidak lagi tersedia. kalaupun dipertahankan, biaya operasinya sangat besar karena memerlukan pompa yang berjalan terus.
Tanggul laut raksasa yang direncanakan dalam sistem tertutu[p membuat air tidak mengalir. Karena itu, kualitas lingkungan laut jakarta akan rusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar